SISA KEWARASAN DI UJUNG SENJA
Oleh: Karlina Dwi Susanti
Sangat menyebalkan
saat semua makhluk yang kau kenal dekat menekanmu dalam kondisi sulit yang
seharusnya dihadapi bersama.Terlebih saat mereka egois dan tak pernah
menganggap semua perjuanganmu.Belum lagi jika ada satu makhluk yang tak mau
tahu sama sekali dengan badai yang terjadi dalam proses penyelesaian masalah yang jelas-jelas lebih dari kapasitas
untuk dihadapi sendiri.Akan sangat menyebalkan saat dirimu selalu menjadi
pelampiasan kekesalan dan menelan kata-kata “terserah” dari mereka.Bahkan saat
kamu meminta pertimbangan, tak ada satu pun suara yang sudi bergetar untuk
memberi sedikit saran dan pendapat walaupun itu tiada artinya.Oh ya baru
teringat juga satu masalah “kecil” bahwa kamu bukanlah bagian dari sesuatu yang
selama ini kamu anggap sebagai keluarga.
Semuanya tak
bisa lagi dihadapi dengan kepala dingin, apalagi untuk menghadapi makhluk yang
tidak bisa diajak bekerjasama seperti ini.Mengobral janji, menggampangkan
masalah, menunda waktu, dan menyalahkanmu di saat-saat terakhir.Aku tidak tahu
apa rencana Tuhan terhadapku, aku sudah lelah.Saat melihat pisau hanya ada satu
yang ada di pikiranku, menggoreskan sisinya yang tajam bagai sembilu itu ke arah
guratan nadi di tangan kiriku.Tapi aku benar-benar tak berani saat dinginnya
benda itu mulai menyentuh kulit ariku.Aku selalu gagal setelah mencobanya
berkali-kali.Perlahan namun pasti kebencian itu mulai terkumpul kembali, bagai
kepingan puzel yang tersusun sedemikian rumit, aku benci dibohongi seperti ini
dan yang paling kubenci adalah aku yang tak tahu siapa diriku sebenarnya.
Kupandangi
langit-langit kamarku yang penuh dengan taburan bintang kertas buatanku, masih
segar di ingatanku bagaimana saat itu
betapa aku begitu dengan senang hati menggunting kertas gulung menjadi
bintang-bintang itu.Pandanganku terasa kosong, menerawang dengan sedikit sisa
kewarasan yang kurasa akan sirna beberapa lapis lagi.Gulungan rambutku yang
panjang membuatku marah bukan tanpa alasan, ya rambut-rambut ini begitu
menggangguku seakan mereka menjelma menjadi ribuan ulat bulu yang menari-nari
di atas buntunya pikiranku.Secuil kewarasanku tiada artinya untuk
menghentikanku mengambil benda itu, aku mulai menelusuri belahan rambutku
sejumput demi sejumput.Suara rambut yang teriris oleh tajamnya logam kembar itu
terdengar tak asing di telingaku.Perlahan namun pasti, bantal dan kasurku sudah
dipenuhi dengan serakan surai berwarna hitam yang beberapa menit sebelumnya
masih menancap kuat dengan akarnya di kulit kepalaku.Tatapanku hampa bahkan air
mata tak berhasil keluar dari bengkaknya hati ini.Aku bangkit dari tempatku berbaring, kulihat sesosok gadis menatapku dengan tatapan penuh kepenatan,
rambut pendeknya jauh dari kata rapi.Teringat dengan benda tajam yang masih
rapi dalam genggamanku, kulempari gadis itu dengan benda itu namun dia tidak
bergeming.Bahkan wajahnya membuatku hatiku semakin sebal.
Hingga akhirnya
penatku memuncak, aku ingin berbicara dengan Tuhan.Banyak hal yang ingin aku
tanyakan kepada-Nya.Aku terus berpikir dengan secuil kewarasanku yang tersisa,
hingga cairan berbau anyir itu berhasil keluar dari luka yang aku ciptakan, aku
sedikit terkejut dengan perasaan ini, luka itu tak sesakit dengan yang aku
bayangankan selama ini bahkan tak terasa perih sama sekali.Entah ini sudah
sejak berapa detik sejak benda terdingin yang pernah kusentuh itu mencicipi
darahku.Sprei putih itu sudah mulai basah dan penuh dengan noda darah.Pandanganku
mulai mengabur, gambaran dunia mulai hilang dari pandanganku.Semua beban
pikiranku hilang, aku tak merasakan lagi tekanan-tekanan yang menghujam kepala
dan dadaku, aku dapat merasakan senyuman tipis terukir di bibirku.Terasa
menyenangkan saat samar-samar kulihat sesosok pria tua dengan baju gamis
berjalan ke arahku, penampilannya menggambarkan segala aspek kesederhanaan dan
kedamaian dalam kehidupan, mengingatkanku dengan massa kecilku.Suatu bonus jika
aku bertemu dengan kakekku tersayang seperti ini, lalu apakah mungkin aku sudah
mati?Tapi kenapa aku masih mendengar suara pintu terbuka dan beberapa orang
yang histeris meneriaki namaku?Tapi darimana suara itu?Kenapa yang ada hanya dingin
dan gelap?Dimanakah aku?Dimanakah Engkau, wahai Tuhanku?
SELESAI