ASEM!!!
Oleh: Karlina Dwi
Susanti
Januari menuju Juli berlalu dengan cepat di tahun ini, meski
tak akan pernah mampu menandingi cepatnya kuning langit senja yang menipis
karena terkikis gelap yang mulai menggerayang.Sisa udara panas membuat benda
dalam genggamanku basah oleh keringat.Aku memasukkan lagi benda itu ke dalam
tasku, menangguhkan niatku lagi.Aku pasrah dengan sensasi aneh yang sering aku
rasakan akhir-akhir ini.Dia tertidur, suara obrolannya dua orang di depanku ini
tak terdengar lagi, hanya terllihat ujung rambutnya di balik kursi di depanku.Bertiga
aku dan dua sepasang sahabat ini memutuskan pulang bersama ke kota kelahiran
kami, menunggu tibanya hari peresmian gelar kami sebagai sarjana.
Aku menghembuskan nafas lelah, andai saja aku bisa
menggantikan Rifai yang duduk disampingnya, di samping ‘dia’ yang tanpa izin
selalu hadir dalam lamunanku di setiap malam sejak entah kapan.Terus-menerus
memandang jalanan membuatku bosan, aku menoleh ke samping kananku dengan
sekejap lalu mengembalikan posisi wajahku seperti semula.Aku meneliti setiap
inchi penampilan orang di sampingku ini .Cukup dengan lirikan aku tahu jika
laki-laki ini memang mempunyai tampang yang mencurigakan.Topi belel, rambut
panjang sebahu yang dikuncir tak begitu rapi, jenggot dan kumis yang memenuhi
sebagian wajahnya, jaket levis dan celana jeans yang dengan sengaja dijebol di
bagian dengkul membuat semua orang tidak salah jika mereka mempunyai pikiran
jika pria jangkung ini adalah seorang preman.Kondisi bis yang gelap membuatku
tetap terjaga, bagaimanapun juga bisa saja ada kemungkinan barangku raib jika
aku memejamkan mataku.Entah kenapa aku merasa tidak suka dengan orang ini.
Pukul sebelas malam, bus berhenti di terminal, Rifai meminta
ijin padaku untuk turun melepas tagihan alam dengan cengiran khasnya.Ingin
rasanya aku berdiri lalu pindah ke kursi yang dia tinggalkan.Aku sedikit
terusik saat pria di sampingku ini berdiri, aku tak percaya melihat pria aneh
ini berpindah tempat di bangku impianku.Sebelum aku menemukan ide apa yang
harus aku lakukan, aku terkagetkan oleh suara teriakan seorang gadis yang
terpotong oleh bekapan tangan.Semua penumpang terjingkat, terlebih aku.Aku
ternganga memanggil nama sosok di depanku yang ketakutan dengan ujung pisau
yang menempel di pipinya, cekungan di pipi akibat benda tajam itu terlihat
jelas di mataku.Semua orang histeris dalam keheningan, aku pun tak berani
berkutik takut jika dia terluka oleh benda tajam dan dingin itu.Aku melirik
sekitar, yang ada hanya beberapa orang penumpang yang juga tak bisa berbuat
apapun sedangkankan sopir, kondektur dan kernet sudah turun sejak tadi dari bis
untuk istirahat.Vina sangat ketakutan namun yang sejauh yang dapat dia lakukan
adalah tetap diam dan memandang mataku,bibirnya yang gemetar membuat hatiku
gusar, ingin sekali tangan ini meluncur dan menghantam pria bertopi yang kurang
ajar ini.Aku mengumpat dalam hati, memutar ide yang sedikit gila dan pengecut.
“Ha..fid…”.Bisikan suara lemah itu ditujukan padaku, padaku
yang masih bingung harus bagaimana mengambil langkah.
“Lepaskan dia dan cepat pergi!”.Teriakku sambil menyodorkan
tasku yang berisi semua barang-barangku .’Sial!andai saja dia tidak menodongkan
pisau senekat itu, dasar rampok brengsek!’.Batinku berteriak.
Pria gondrong ini memandang remeh ke arahku dari balik
topinya yang nyaris menutupi wajahnya yang penuh dengan kumis dan jambang,
entah apa yang ada di pikirannya saat dia tak mempedulikanku lalu merogoh
sesuatu dari kantong jaketnya.Sebuah buku yang sudah usang, lebih mirip dengan
sebuah buku harian dan juga secarik kertas di dalamnya.Dengan tangan yang tetap
dalam posisi mengunci Vina dia memberikan buku itu pada Vina.Tangan gemetar Vina
menerimanya dengan ragu.
“Baca!”.’Berani-beraninya si brengsek ini membentak Vina!’.Aku
tak mengerti apa yang diinginkan pria ini.Aku semakin tak mengerti saat Vina
malah tersenyum begitu membaca kertas kecil yang tadinya terselip di dalam buku
itu.Pria aneh itu melepaskan cengkramannya terhadap Vina.Kugunakan kesempatan
itu untuk mereput pisau yang ada di tangannya dan mengunci
pergerakannya.Sebelum tanganku berhasil memberi pukulan ke arah mukanya, aku
tersentak dengan cengkraman lembut yang mencegahku untuk melanjutkan aksiku.Aku
menatap bingung mata Vina dan kebingungan terus berlanjut saat gelak tawa dua
orang di depanku ini pecah, rasanya seperti akan gila saat aku melihat korban
perampokan dan tersangka perampokan tertawa bersama.
“Udah duduk lagi aja Fid, ini teman aku.Para penumpang
sekalian, saya minta maaf atas kejahilan teman saya ya”.Ucap Vina dengan nada
yang mendadak santai.Senyuman lembut tak juga hilang dari wajahnya.Aku kembali
duduk, namun tetap penasaran dengan apa yang akan terjadi.
“Huuuu”.Terdengar dengungan dan beberapa tawa dari para
penumpang.Aku merasakan tepukan lembut di bahu kananku.Rifai sudah kembali dan
seenaknya duduk di bangku yang tadi ditempati pria asing itu.Aku pun duduk di
tempatku semula.Mengira-ngira dan memperhatikan apa yang terjadi selanjutnya.Dugaanku
tak salah jika Rifai juga mengenal pria ini.
“Ciye!!!Zendi!”.Rifai berteriak ceria sambil menepuk kepala
pria aneh ini dari belakang.Pria yang aku baru tahu bernama Zendi ini menengok
ke belakang, membuka topinya dan dua pria di dekatku ini tertawa terbahak
bersama.
“Ssst…Udah kamu diam aja Rif, biarin kita berdua
ngomong”.Zendi berkata seakan penuh arti.Rasa cemburu ini muncul begitu saja
saat pria gondrong bahkan penampilan yang tak sepadan denganku ini begitu
tampak akrab dengan Vina.Siapa sebenarnya orang ini.Aku benar-benar tidak
suka!.
“Woe, Lapis legit…”.Suara cempreng Rifai membuyarkan
lamunanku, aroma kue membuatku ikut mengambil beberapa dari yang disodorkan
Rifai.Seakan menjawab semua pertanyaan yang berputar-putar di otakku.Rifai
dengan antusias menceritakan tentang
Zendi, dan semua ceritanya membuat aku tercengang, serasa tak ada artinya
di mata Vina lagi.Kue yang tadinya legit kini menjadi kudapan terpahit yang
pernah singgah di lidahku.Aku hanya diam, menyimak pembicaraan antara Vina dan
Zendi serta menyesali sikapku yang pecundang.Ternyata mereka adalah teman dari
SMA yang sama dan, cukup dekat dan mempunyai sejarah.
“Vina menangis tersedu-sedu”.Entah apa yang mereka berdua
bicarakan.Zendi berdiri dengan penuh percaya diri.Matanya yang tadi sempat
memandang remeh ke arahku kini memandang dengan penuh arti terhadap Vina yang
masih anteng di kursinya.Saat ini aku merasa konyol, bagaikan segumpal awan
buruk rupa yang berada di tengah tatapan mata mereka yang ah, sudahlah.Kondisi
bus hening, aku berani bertaruh akan ada hal heboh setelah ini.
“Vina aku mau kamu jadi istriku”.Ucap Zendi lantang tak
peduli dengan tatapan orang-orang yang penuh dengan macam-macam arti.Aku ingin
sekali memuntahkan isi perutku.Entah siapa lagi dan datang darimana, pria aneh
lain malah membawa handycam untuk mengabadikan momen ini.Hatiku sangat panas.Bagaimana
bisa pria ini dengan begitu percaya diri dan caranya yang norak mendahuluiku
untuk melamar gadis yang telah aku putuskan untuk membalas cinta darinya.Gadis
yang telah lama mengejar-ngejarku sejak semester awal kuliah tanpa aku
pedulikan sebelumnya.Aku memang tak tertarik untuk pacaran tapi saat ini aku
sudah berencana untuk melamar Vina saat hari wisuda nanti.
“Ayo lah mbak, trima aja, nih anak jadi nampang serem kaya gini
gara-gara nazar buat kamu loh”.Celetuk si pembawa kamera.
“Iya Vin, dari dulu loh itu tiap hari nyeritain kamu”.Tambah
pria asing ketiga yang tiba-tiba juga ikut berdiri.Sopir dan kawan-kawanpun
telah kembali ke dalam bus dengan mulut mereka yang masih mengkilap.
“Terima…terima…. Terima!!”.Dan apa lagi ini, Rifai juga ikut
berdiri dan menyerukan yel-yel dan dukungan agar Vina mau menjadi istri si
jabrik ini.Secuil gusar ini seakan terpupuk dengan sahutan-sahutan yang sama
dari para penumpang lain dan juga awak bus yang tidak mungkin jika tidak tahu
kondisi seperti ini.Tengkukku panas, anehnya tanganku malah bergerak membuat
ancang-ancang untuk ikut bertepuk tangan dan mengucap kata yang sama dengan
semua orang di sini.Mendengar turut hadirnya suaraku Vina tampak menoleh
kepadaku dengan tatapan kecewa, tatapan paling menyakitkan hatiku di balik
senyum di wajahku.Akhirnya aku sadar, aku benar-benar manusia paling pengecut,
pecundang.Ingin rasanya aku menceburkan diri ke danau di ranukumbolo atau
dipermalukan di depan kelas oleh para murid bimbelku karena celanaku yang
sobek, atau tidak jadi diwisuda tahun ini saja jika aku bisa memilih demi
penolakan dari Vina untuk si kumal Zendi.
***
Banyak tawaran kerja
untukku di daerah asalku.Sudah kuputuskan untuk tetap mengajar di kota ini
sambil mengambil program S2 di kota terdekat yang kuliahnya hanya Sabtu dan
Minggu.Sebagai lulusan terbaik di tahun ini memang sangat banyak tawaran kerja
dan beasiswa S2 internasional yang aku tinggal memilihnya, namun aku memutuskan
untuk tetap di kota kelahiranku, aku punya impian menjadi dosen di universitas
di kotaku dan ikut berjuang sekuat tenaga untuk menjadikannya universitas
negeri favorit.Aku melirik jam dinding, bertepatan dengan itu bel jam istirahat
menderu-deru.Sorakan semua siswa seakan menambah reminder agar aku segera
kembali ke ruang guru.Sudah tiga hari ini aku magang di SMA ku dulu sambil
menunggu hari wisuda.Tentu saja aku langsung diterima di sekolah ini, alasannya
adalah jika aku adalah alumni yang dulunya cukup diperhitungkan dalam hal
akademik dan olahraga.Aku menyumbangkan beberapa piala yang berjajar rapi di
kantor kepala sekolah, lulusan terbaik di fakultasku dan juga kurangnya tenaga
pendidik untuk mata pelajaran kimia.Lamaran kerja di bimbel yang cukup ternama pun
menerimaku dengan terbuka.Seharusnya tak ada hal yang bisa mengganggu
pikiranku.
Duduk dengan merilekskan diri di kursi khususku di ruang
guru, foto almarhum kedua orang tuaku membuatku tersenyum, ingin rasanya aku
memeluk mereka saat hari wisudaku esok.Aku mengalihkan pandanganku hingga mataku
terpikat entah ke sekian kalinya pada benda berlayar itu.Entah setelah menit ke
berapa sejak tanganku menjamahnya aku suda berkutat dengan segala yang tersaji
oleh akun facebookku untuk hanya sekedar iseng belaka, aku memang tak begitu
tertarik mengurusi urusan orang dengan jejaring sosial seperti ini kecuali
untuk kepentingan urusan tugas dan kerjaan.Mataku mulai menelusuri satu persatu
status kawan-kawan lama yang hadir di beranda, hingga mata ini lelah,
otot-ototku rahangku tak kuasa menahan setiap incinya untuk menguap, aku sangat
ngantuk.Saat setengah menguap, aku terkejut hingga aku tak jadi menguap
seutuhnya.Foto selfi seorang pria dengan tatapan yang sangat tidak aku suka,
tatapan khas meremahkan.Dia disanding oleh seorang gadis yang dulu sangat
memujaku.di quotenya tertulis, Vina Rahmadhani mengomentari ini, dan di bawahnya
tertulis keterangan gambar yang dikirim oleh Muhammad Zendi Kurnia.“Nazar cukur
rambut setelah 2 tahun akhirnya terlaksana, terimakasih calon ma’mumku :D”.Otak
jeniusku langsung menganalisis jika pria berwajah innocent ini adalah Zendi si pria aneh yang gondrong, brewok dan
lusuh.Sangat berbeda dari saat pertama aku mengenalnya.Foto ini dikirim satu
hari setelah kejadian norak di dalam bus itu kurang lebih satu minggu lalu.Aku
tertawa, ‘ikhlas Fid, Hafid.Masih banyak perempuan lain, hanya perempuan bego
yang bisa nolak kamu!’.Batinku menghibur hatiku yang kalut.
SELESAI