Rabu, 10 Juni 2015

ASEM!!!

ASEM!!!
Oleh: Karlina Dwi Susanti

Januari menuju Juli berlalu dengan cepat di tahun ini, meski tak akan pernah mampu menandingi cepatnya kuning langit senja yang menipis karena terkikis gelap yang mulai menggerayang.Sisa udara panas membuat benda dalam genggamanku basah oleh keringat.Aku memasukkan lagi benda itu ke dalam tasku, menangguhkan niatku lagi.Aku pasrah dengan sensasi aneh yang sering aku rasakan akhir-akhir ini.Dia tertidur, suara obrolannya dua orang di depanku ini tak terdengar lagi, hanya terllihat ujung rambutnya di balik kursi di depanku.Bertiga aku dan dua sepasang sahabat ini memutuskan pulang bersama ke kota kelahiran kami, menunggu tibanya hari peresmian gelar kami sebagai sarjana.
Aku menghembuskan nafas lelah, andai saja aku bisa menggantikan Rifai yang duduk disampingnya, di samping ‘dia’ yang tanpa izin selalu hadir dalam lamunanku di setiap malam sejak entah kapan.Terus-menerus memandang jalanan membuatku bosan, aku menoleh ke samping kananku dengan sekejap lalu mengembalikan posisi wajahku seperti semula.Aku meneliti setiap inchi penampilan orang di sampingku ini .Cukup dengan lirikan aku tahu jika laki-laki ini memang mempunyai tampang yang mencurigakan.Topi belel, rambut panjang sebahu yang dikuncir tak begitu rapi, jenggot dan kumis yang memenuhi sebagian wajahnya, jaket levis dan celana jeans yang dengan sengaja dijebol di bagian dengkul membuat semua orang tidak salah jika mereka mempunyai pikiran jika pria jangkung ini adalah seorang preman.Kondisi bis yang gelap membuatku tetap terjaga, bagaimanapun juga bisa saja ada kemungkinan barangku raib jika aku memejamkan mataku.Entah kenapa aku merasa tidak suka dengan orang ini.
Pukul sebelas malam, bus berhenti di terminal, Rifai meminta ijin padaku untuk turun melepas tagihan alam dengan cengiran khasnya.Ingin rasanya aku berdiri lalu pindah ke kursi yang dia tinggalkan.Aku sedikit terusik saat pria di sampingku ini berdiri, aku tak percaya melihat pria aneh ini berpindah tempat di bangku impianku.Sebelum aku menemukan ide apa yang harus aku lakukan, aku terkagetkan oleh suara teriakan seorang gadis yang terpotong oleh bekapan tangan.Semua penumpang terjingkat, terlebih aku.Aku ternganga memanggil nama sosok di depanku yang ketakutan dengan ujung pisau yang menempel di pipinya, cekungan di pipi akibat benda tajam itu terlihat jelas di mataku.Semua orang histeris dalam keheningan, aku pun tak berani berkutik takut jika dia terluka oleh benda tajam dan dingin itu.Aku melirik sekitar, yang ada hanya beberapa orang penumpang yang juga tak bisa berbuat apapun sedangkankan sopir, kondektur dan kernet sudah turun sejak tadi dari bis untuk istirahat.Vina sangat ketakutan namun yang sejauh yang dapat dia lakukan adalah tetap diam dan memandang mataku,bibirnya yang gemetar membuat hatiku gusar, ingin sekali tangan ini meluncur dan menghantam pria bertopi yang kurang ajar ini.Aku mengumpat dalam hati, memutar ide yang sedikit gila dan pengecut.
“Ha..fid…”.Bisikan suara lemah itu ditujukan padaku, padaku yang masih bingung harus bagaimana mengambil langkah.
“Lepaskan dia dan cepat pergi!”.Teriakku sambil menyodorkan tasku yang berisi semua barang-barangku .’Sial!andai saja dia tidak menodongkan pisau senekat itu, dasar rampok brengsek!’.Batinku berteriak.
Pria gondrong ini memandang remeh ke arahku dari balik topinya yang nyaris menutupi wajahnya yang penuh dengan kumis dan jambang, entah apa yang ada di pikirannya saat dia tak mempedulikanku lalu merogoh sesuatu dari kantong jaketnya.Sebuah buku yang sudah usang, lebih mirip dengan sebuah buku harian dan juga secarik kertas di dalamnya.Dengan tangan yang tetap dalam posisi mengunci Vina dia memberikan buku itu pada Vina.Tangan gemetar Vina menerimanya dengan ragu.
“Baca!”.’Berani-beraninya si brengsek ini membentak Vina!’.Aku tak mengerti apa yang diinginkan pria ini.Aku semakin tak mengerti saat Vina malah tersenyum begitu membaca kertas kecil yang tadinya terselip di dalam buku itu.Pria aneh itu melepaskan cengkramannya terhadap Vina.Kugunakan kesempatan itu untuk mereput pisau yang ada di tangannya dan mengunci pergerakannya.Sebelum tanganku berhasil memberi pukulan ke arah mukanya, aku tersentak dengan cengkraman lembut yang mencegahku untuk melanjutkan aksiku.Aku menatap bingung mata Vina dan kebingungan terus berlanjut saat gelak tawa dua orang di depanku ini pecah, rasanya seperti akan gila saat aku melihat korban perampokan dan tersangka perampokan tertawa bersama.
“Udah duduk lagi aja Fid, ini teman aku.Para penumpang sekalian, saya minta maaf atas kejahilan teman saya ya”.Ucap Vina dengan nada yang mendadak santai.Senyuman lembut tak juga hilang dari wajahnya.Aku kembali duduk, namun tetap penasaran dengan apa yang akan terjadi.
“Huuuu”.Terdengar dengungan dan beberapa tawa dari para penumpang.Aku merasakan tepukan lembut di bahu kananku.Rifai sudah kembali dan seenaknya duduk di bangku yang tadi ditempati pria asing itu.Aku pun duduk di tempatku semula.Mengira-ngira dan memperhatikan apa yang terjadi selanjutnya.Dugaanku tak salah jika Rifai juga mengenal pria ini.
“Ciye!!!Zendi!”.Rifai berteriak ceria sambil menepuk kepala pria aneh ini dari belakang.Pria yang aku baru tahu bernama Zendi ini menengok ke belakang, membuka topinya dan dua pria di dekatku ini tertawa terbahak bersama.
“Ssst…Udah kamu diam aja Rif, biarin kita berdua ngomong”.Zendi berkata seakan penuh arti.Rasa cemburu ini muncul begitu saja saat pria gondrong bahkan penampilan yang tak sepadan denganku ini begitu tampak akrab dengan Vina.Siapa sebenarnya orang ini.Aku benar-benar tidak suka!.
“Woe, Lapis legit…”.Suara cempreng Rifai membuyarkan lamunanku, aroma kue membuatku ikut mengambil beberapa dari yang disodorkan Rifai.Seakan menjawab semua pertanyaan yang berputar-putar di otakku.Rifai dengan antusias menceritakan tentang  Zendi, dan semua ceritanya membuat aku tercengang, serasa tak ada artinya di mata Vina lagi.Kue yang tadinya legit kini menjadi kudapan terpahit yang pernah singgah di lidahku.Aku hanya diam, menyimak pembicaraan antara Vina dan Zendi serta menyesali sikapku yang pecundang.Ternyata mereka adalah teman dari SMA yang sama dan, cukup dekat dan mempunyai sejarah.
“Vina menangis tersedu-sedu”.Entah apa yang mereka berdua bicarakan.Zendi berdiri dengan penuh percaya diri.Matanya yang tadi sempat memandang remeh ke arahku kini memandang dengan penuh arti terhadap Vina yang masih anteng di kursinya.Saat ini aku merasa konyol, bagaikan segumpal awan buruk rupa yang berada di tengah tatapan mata mereka yang ah, sudahlah.Kondisi bus hening, aku berani bertaruh akan ada hal heboh setelah ini.
“Vina aku mau kamu jadi istriku”.Ucap Zendi lantang tak peduli dengan tatapan orang-orang yang penuh dengan macam-macam arti.Aku ingin sekali memuntahkan isi perutku.Entah siapa lagi dan datang darimana, pria aneh lain malah membawa handycam untuk mengabadikan momen ini.Hatiku sangat panas.Bagaimana bisa pria ini dengan begitu percaya diri dan caranya yang norak mendahuluiku untuk melamar gadis yang telah aku putuskan untuk membalas cinta darinya.Gadis yang telah lama mengejar-ngejarku sejak semester awal kuliah tanpa aku pedulikan sebelumnya.Aku memang tak tertarik untuk pacaran tapi saat ini aku sudah berencana untuk melamar Vina saat hari wisuda nanti.
“Ayo lah mbak, trima aja, nih anak jadi nampang serem kaya gini gara-gara nazar buat kamu loh”.Celetuk si pembawa kamera.
“Iya Vin, dari dulu loh itu tiap hari nyeritain kamu”.Tambah pria asing ketiga yang tiba-tiba juga ikut berdiri.Sopir dan kawan-kawanpun telah kembali ke dalam bus dengan mulut mereka yang masih mengkilap.
“Terima…terima…. Terima!!”.Dan apa lagi ini, Rifai juga ikut berdiri dan menyerukan yel-yel dan dukungan agar Vina mau menjadi istri si jabrik ini.Secuil gusar ini seakan terpupuk dengan sahutan-sahutan yang sama dari para penumpang lain dan juga awak bus yang tidak mungkin jika tidak tahu kondisi seperti ini.Tengkukku panas, anehnya tanganku malah bergerak membuat ancang-ancang untuk ikut bertepuk tangan dan mengucap kata yang sama dengan semua orang di sini.Mendengar turut hadirnya suaraku Vina tampak menoleh kepadaku dengan tatapan kecewa, tatapan paling menyakitkan hatiku di balik senyum di wajahku.Akhirnya aku sadar, aku benar-benar manusia paling pengecut, pecundang.Ingin rasanya aku menceburkan diri ke danau di ranukumbolo atau dipermalukan di depan kelas oleh para murid bimbelku karena celanaku yang sobek, atau tidak jadi diwisuda tahun ini saja jika aku bisa memilih demi penolakan dari Vina untuk si kumal Zendi.
***
 Banyak tawaran kerja untukku di daerah asalku.Sudah kuputuskan untuk tetap mengajar di kota ini sambil mengambil program S2 di kota terdekat yang kuliahnya hanya Sabtu dan Minggu.Sebagai lulusan terbaik di tahun ini memang sangat banyak tawaran kerja dan beasiswa S2 internasional yang aku tinggal memilihnya, namun aku memutuskan untuk tetap di kota kelahiranku, aku punya impian menjadi dosen di universitas di kotaku dan ikut berjuang sekuat tenaga untuk menjadikannya universitas negeri favorit.Aku melirik jam dinding, bertepatan dengan itu bel jam istirahat menderu-deru.Sorakan semua siswa seakan menambah reminder agar aku segera kembali ke ruang guru.Sudah tiga hari ini aku magang di SMA ku dulu sambil menunggu hari wisuda.Tentu saja aku langsung diterima di sekolah ini, alasannya adalah jika aku adalah alumni yang dulunya cukup diperhitungkan dalam hal akademik dan olahraga.Aku menyumbangkan beberapa piala yang berjajar rapi di kantor kepala sekolah, lulusan terbaik di fakultasku dan juga kurangnya tenaga pendidik untuk mata pelajaran kimia.Lamaran kerja di bimbel yang cukup ternama pun menerimaku dengan terbuka.Seharusnya tak ada hal yang bisa mengganggu pikiranku.
Duduk dengan merilekskan diri di kursi khususku di ruang guru, foto almarhum kedua orang tuaku membuatku tersenyum, ingin rasanya aku memeluk mereka saat hari wisudaku esok.Aku mengalihkan pandanganku hingga mataku terpikat entah ke sekian kalinya pada benda berlayar itu.Entah setelah menit ke berapa sejak tanganku menjamahnya aku suda berkutat dengan segala yang tersaji oleh akun facebookku untuk hanya sekedar iseng belaka, aku memang tak begitu tertarik mengurusi urusan orang dengan jejaring sosial seperti ini kecuali untuk kepentingan urusan tugas dan kerjaan.Mataku mulai menelusuri satu persatu status kawan-kawan lama yang hadir di beranda, hingga mata ini lelah, otot-ototku rahangku tak kuasa menahan setiap incinya untuk menguap, aku sangat ngantuk.Saat setengah menguap, aku terkejut hingga aku tak jadi menguap seutuhnya.Foto selfi seorang pria dengan tatapan yang sangat tidak aku suka, tatapan khas meremahkan.Dia disanding oleh seorang gadis yang dulu sangat memujaku.di quotenya tertulis, Vina Rahmadhani mengomentari ini, dan di bawahnya tertulis keterangan gambar yang dikirim oleh Muhammad Zendi Kurnia.“Nazar cukur rambut setelah 2 tahun akhirnya terlaksana, terimakasih calon ma’mumku :D”.Otak jeniusku langsung menganalisis jika pria berwajah innocent ini adalah Zendi si pria aneh yang gondrong, brewok dan lusuh.Sangat berbeda dari saat pertama aku mengenalnya.Foto ini dikirim satu hari setelah kejadian norak di dalam bus itu kurang lebih satu minggu lalu.Aku tertawa, ‘ikhlas Fid, Hafid.Masih banyak perempuan lain, hanya perempuan bego yang bisa nolak kamu!’.Batinku menghibur hatiku yang kalut.
SELESAI