Oleh: Karlina Dwi Susanti
Kuburan terlihat sunyi, remang cahaya
dari lampu rumah penduduk sedikit membuat batu nisan terlihat berkilau-kilau
dari kejauhan tanpa bisa menyinari tulisan yang menunjukkan makam dari siapa
saja yang ada di situ. Rembulan di awal bulan sangat murah senyum namun minim
cahaya, dedaunan bergesekan ditiup angin akhir zaman. Aku dan keluargaku
tinggal di pinggir kuburan sudah sangat lama, bahkan pemukiman ini terasa makin
sesak saja setiap abadnya. Malam adalah waktu bagi ayah dan ibuku untuk
berkeliaran, menggoda manusia di diskotik sampai di masjid demi membiayai biaya
hidup keluarga kecil kami. Itulah mengapa kami disebut dengan setan, usiaku
baru 1400 tahun dan sekarang aku masih sekolah di SMAJS (Sekolah Menengah Atas
Jin dan Setan) yang tidak terlalu faforit. Kalian bisa panggil aku Pochi. Tugasku
di malam hari cukup menjaga adik-adikku yang masih berupa telur hingga yang
barusaja menetas. Harum asap dari barang kotor yang dibuang manusia tanpa
menyebut bissmillah adalah kudapan faforit kami untuk camilan malam ini. Sama
seperti manusia, sekolahku juga dimulai pada pagi hari tapi lebih pagi dari
sekolah manusia pada umumnya. Sekolahku dimulai pukul setengah 6 pagi, di mana
cahaya orange kemerahan dari cahaya matahari yang sedang terbit menambah
kekuatan bagi para pelajar untuk memulai aktivitasnya. Bagian yang paling aku
sukai adalah saat mengumpulkan absen untuk mendapat tambahan poin, aku harus
mengikat tali-tali di tubuh manusia dengan kasur dan bantal mereka, menaburi
matanya dengan serbuk rasa kantuk agar semakin banyak manusia yang lalai dalam
ibadahnya di dunia ini. Dengan terlewatkan sholat subuh sudah pasti kegiatan-kegiatan
selanjutnya tidak akan berkah. Ada juga manusia yang sangat membuat kami hidup
tenang yaitu manusia yang ngeyel sholat subuh saat tanduk setan sedang
nongkrong dengan indahnya di pucuk langit timur sana. Dan satu lagi hal yang
paling aku suka saat subuh, yaitu mengencingi telinga-telinga manusia yang
masih saja tidur setelah adzan subuh berkumandang.
Pukul 3 pagi, suara jangkrik makin riuh
dari dalam kuburan sana. Suara kucing garong meraung-raung dari kejauhan. Para
hewan jadi-jadian untuk ilmu pesiguhan dan tuyul hingga kuntilanak berkeliaran
mencari mangsa. Gagak milik pak Odeng yang rumahnya dekat kuburan juga mengkoak-koak,
mungkin dia melihat penampakan dari salah satunya. Aku sudah mulai ngantuk dan bosan. Dari
jendela gubuk reyot ini aku sangat terkejut dengan kehadiran sosok serupa
pocong di tengah kuburan. Sayang aku tidak bisa melihat lebih jauh, karena dari
buku yang aku baca, setiap jin pasti akan merasa panas saat kakinya melangkah
masuk ke dalam area kuburan. Jadi makhluk yang ada di depan mataku ini sudah
pasti manusia iseng, lihat saja tangannya yang menggenggam hape. Kutoleh
kalender dan ternyata malam ini adalah malam minggu yang digunakan anak SMA
manusia untuk kegiatan diklat pramuka. Aku menoleh lagi pada siswa yang jadi
pocong jadi-jadian itu, dia sudah tidak ada di tempat tadi melainkan dia pindah
ke balik pohon besar di pinggir kuburan. Entah mengapa ide iseng itu muncul
begitu saja di kepalaku. Lumayan juga untuk latihan ujian praktikum minggu
depan.
Aku pergi meninggalkan adik-adikku yang
sudah terlelap, aku mencari buku pelajaran berjudul “Ilmu Menyesatkan Anak Adam Khusus Menyamar Untuk SMA Sederajad”.
Sebagai setan kelas teri dengan prestasi pas-pasan buku ini selalu berguna.
Rapalan mantra-mantra sihir sudah kuucapkan, konsentrasi penuh untuk meditasi
dubutuhkan setelahnya lalu…kruuuk..perutku memberi kode. Rupanya energiku masih
kurang karena aku hanya makan asap dari tadi siang. Dengan gerakanku secepat
cahaya, aku keliling kampung ini dan menemukan tempat sampah yang penuh dengan
bangkai sisa makanan. Dengan cepat aku melahap hawa dari benda kotor ini.
Dengan energi yang cukup akhirnya aku
bisa berubah wujud menjadi sosok pocong yang lumayan ganteng. Dengan cara meloncat-loncat aku mendekati
siswa tadi,
“Hei Kuh, kamu kok kesini. Harusnyakan kamu jaga pos 2”.Ucapnya
padaku sambil berbisik.
“…”. Rupanya dia mengira kalau aku adalah temannya. Aku
diam saja padahal pingin jawab, tapi sebagai amatir aku belum tahu ilmunya.
“ Ssssst ada yang datang, ayo mulai kerjain mereka”.
Ucap anak ini penuh semangat,
Aku hanya diam di tempat, efek mantra
yang hampir habis membuat penyamaranku semakin memudar, ukuranku terasa semakin
membesar. Siswa yang asik beraksi loncat-loncat itu tidak menyadari keadaanku
yang tepat di belakangnya. Para peserta diklat lari ketakutan melihat dua
pocong jadi-jadian yang salah satunya sangat aneh. Siswa di depanku tertawa
terbahak-bahak melihat adik kelasnya lari tunggang langgang. Dia pun berbicara
padaku dengan masih menatap arah berlari korban keisengannya.
“Kuh kamu lihat tadi kan, padahal jelas-jelas wajahku
ganteng gini masa mereka masih ngira kalau kita pocong beneran”. Ucapnya
dengan penuh kenarsisan sebelum menengok ke arahku.
Rupanya anak ini baru sadar dengan hal
yang membuat adik kelasnya ketakutan. Dengan menaikkan kain kafan yang dia
kenakan anak itu lari tunggang langgang setelah melihat pocong setinggi pohon
nangka ini. Aku hanya bisa puas dengan aksiku sebatas ini. Rupanya penyamaranku
masih belum bisa tahan lama. Ujian akhir dekade kali ini pasti nilaiku akan
pas-pasan lagi. Aku terbang melayang pulang seiring dengan wujudku yang mulai berubah
kembali menjadi asap transparan. Aku harus segera berlindung di rumah sebelum
adzan subuh berkumandang.
SELESAI