Sabtu, 24 September 2016

GARA-GARA TOGEL

Oleh: Karlina Dwi Susanti



GARA-GARA TOGEL

Langit sedikit muram. Gerimis tipis di sore itu tidak mampu lagi menggoda Alda untuk kembali terlelap. Tangan kirinya meraih handphone sedangkan tangan kanannya menutupi mulutnya yang menguap. Mata bulat itu menyapu langit-langit kamar. Suara tarhim dari masjid yang berada di depan kamarnya menggema, Sambil menggaruk-garuk kepala, dia mengatur tubuhnya untuk bangkit meninggalkan tempat nyaman itu.
        Dengan tangan kiri membawa handuk dan tangan kanan membawa peralatan mandi, gadis 18 tahun itu berjalan dengan santai ke arah kamar mandi yang kebetulan sedang kosong. Dia menoleh ke kanan saat ada suara laki-laki yang memanggilnya dari kosan sebelah. Cowok berkacamata itu melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar.
“Aaaaal, nanti malam mingguannya jadi kan? Bbmku nggak kamu ‘R’, dasar!”, cowok yang sedang menjemur pakaian di tengah gerimis itu bergumam sedikit sebal.
“Gak usah di ‘R’ juga kamu bakalan manggil-manggil aku kaya barusan... jadi lah, ini aku mau mandi, kamu tuh ngapain gerimis-gerimis gini malah jadi tukang laundry?
“Ah biarin nanti juga kalau besok panas bakalan kering pada waktunya”, ucapanya sambil memeras potongan terakhir pakaiannya.
“Ok deh Ramzi semoga baju-bajumu itu hasil akhirnya nggak bau, nanti jam  setengah tujuh ya”, Alda tersenyum mengakhiri pembicaraan dan bergegas ke kamar mandi. Alda dan Ramzi adalah mahasiswa baru di fakultas yang sama. Mereka tinggal di kosan yang berbeda namun sama-sama di lantai dua. Jarak balkon kosan Alda dan tempat jemuran di kosan Ramzi hanya selebar jalan di gang yang memisahkan kedua kos-kosan itu. Acara hari ini adalah mengunjungi kosan teman mereka sebagai langkah untuk lebih kenal dan akrab dengan teman seangkatan.
***
Dengan berjalan kaki di tengah gerimis yang lebih tipis dari  sebelumnya, tiga remaja itu menyusuri komplek perumahan. Sebagian besar perumahan di tempat itu dibangun untuk disewakan pada para mahasiswa sebagai kos-kosan. Kondisi yang jauh dari keluarga membuat Alda ingin mendapat kenyamanan baru di perantauan bersama teman-temannya ini. Setelah melewati kuburan dan beberapa gang sempit, Alda, Ramzi, dan Adit telah sampai di depan sebuah rumah kos berpagar jingga. Adit adalah teman kos Ramzi.
“Benar ini alamatnya?”, tanya Ramzi sambil menyalakan sebatang rokok dan tak lupa menyodorkan yang utuh untuk Adit.
“Betul kok, sebentar lagi Giska juga keluar”, jawab Alda dengan tangan kanan yang sibuk dengan handphone dan tangan kiri mengibas-kibas sebagai kode bahwa dia benci asap rokok tapi percuma, dua cowok itu tak peka.
“Gelap banget ya di sini, mana tadi lewat kuburan dan kebun jati pula”, komentar cowok berambut agak gondrong dengan model tak jelas bernama Adit sambil menyulut rokok yang terjebak di antara bibirnya.
Setelah beberapa menit menunggu akhirnya ketiga orang itu sudah bisa bersantai di gazebo kos-kosan gadis bertubuh subur bernama Giska. Tak terasa sudah pukul sepuluh malam, terpaksa empat orang dengan muka penuh bedak bayi itu harus bubar, mengakhiri permainan remi yang sebenarnya masih terlalu asik untu diakhiri. Dengan berat hati ketiga remaja itu harus segera pamit untuk pulang, mereka mempertimbangkan jam malam di kosan Alda yang tinggal satu jam lagi.
“Kalian hati-hati ya di jalan , langsung pulang aja. Nanti kalau kalian lewat rumah warna pink yang nggak ada pagarnya jalan terus aja jangan tolah-toleh”, Ucap Giska sambil cekikikikan.
“Ah iya aku sudah tahu kok Gis”, jawab Ramzi sambil melambaikan tangannya diiringi tawa dari Alda. Adit yang tak mengerti hanya membatin untuk menanyakan tentang rumah pink nyentrik itu nanti di tengah perjalanan.
        Diiringi suara gitar dari deretan kos yang mereka lewati berpadu lantunan kodok sawah, ketiga remaja itu memilih jalan yang sama dengan tadi. Dengan berdeham terlebih dahulu, Adit bersiap untuk menanyakan tentang rumah pink yang berjarak beberapa meter di depan mereka namun niatnya terhenti saat sebuah suara yang menyentak itu memecahkan keheningan malam.
“Ramziii!! Aldaaaa!!”, suara cempreng dengan logat madura itu tak asing. Ramzi dan Alda menoleh pada cowok ganteng yang sedang berkumpul dengan beberapa temannya di teras sebuah kos-kosan laki-laki.
“Heeeeiii Fajaaaar...., jadi kamu ngekos di sini ya?”, tanya Alda yang sebelumnya ngantuk mendadak jadi penuh semangat. Ramzi dan Adit hanya saling bertatapan dan menaikkan alis masing-masing. Fajar jugalah teman seangkatan dari Alda dan Ramzi.
“Enggak aku cuma main ke temanku di sini, mau beli togel”, jawab Fajar tanpa basa-basi. Perasaan Alda hancur.
“Haaa? Togel gimana jar maksud kamu?” tanya Ramzi penasaran.
“Kamu mau? Ayo deh ikutan. Ini, orangnya yang jual udah ngabarin baru sampai”, sambung salah satu teman Fajar yang bangkit sambil meletakkan gitar.
“ Emang dimana tempatnya, aku juga ikut ah”, jawab Ramzi yang membuat Alda protes. Memang sejak beberapa bulan kenal, Alda tahu bahwa gaya hidup Ramzi memang sedikit berbeda dari remaja pada umumnya. Tapi baru pertama ini dia melihat salah satu hal gila yang tidak pernah terlintas di pikirannya.
“Itu di dekat warung angkringan sampingnya rumah pink, ayo cepetan orangnya cuma sebentar dan tenang, kalian pasti kenal kok sama orangnya.”
“Ini gila...”, ucap Alda sambil membayangkan mereka akan bertransaksi togel tepat di samping rumah dosen killer mereka. Yang terpikir oleh Alda adalah saat mereka transaksi, dosen yang terkenal mudah hafal dengan wajah mahasiswa itu sedang berada di luar rumah dan menandai mereka. Tentu jika hal itu benar-benar terjadi akan menjadi bencana bagi perkuliahannya.
***
        Dengan keahliannya meramal togel yang tidak dimengerti oleh Alda dan Adit, Ramzi sudah mengantongi beberapa nomor yang siap untuk diadu dan menunggu pengumuman.
“Ayo Ramzi pulang, katanya cuma sebentar”, Kekhawatiran bercampur rasa bersalah terlihat dari cara Alda menarik-narik baju Ramzi agar segera pergi dari tempat maksiat itu.
“Ooooh, jadiiii malam mingguannya mahasiswa bapak kaya gini ini ya”, suara baritone itu membuat bulu kuduk remaja yang sedang berkerumun itu berdiri. Hal yang dibayangkan Alda terjadi. Untunglah kondisi jalanan yang minim cahaya menyelamatkan wajah mereka dari dosen yang terkenal killer itu.
        Tanpa aba-aba, semua orang yang terlibat dalam transaksi langsung berlari dengan arah yang terpencar. Beruntung Alda tidak terpisah dari Ramzi dan Adit, namun tanpa mereka sadari mereka sudah berada di tengah kebun jati yang gelap dan cukup membuat jantung tak henti-hentinya tersentak. Suasana malam yang gelap membuat tangan Alda yang basah menggenggam tangan kedua sahabatnya dengan erat. Tiga orang yang masih ngos-ngosan itu berhenti dan berjongkok di bawah sebuah pohon jati yang lumayan terkena sinar rembulan. Dua remaja laki-laki itu tertawa lepas, seolah hal yang terjadi barusan sangatlah lucu.
“Ya Allah mulai sekarang aku sudah jadi anak nakal, gimana kalau kita masuk penjara?”, ucap Alda sambil menggigiti kuku-kukunya. Ramzi dan Adit yang melihat kepolosan gadis itu hanya tersenyum menahan tawa, yang penting bagi mereka adalah bagaimana menemukan celah untuk pulang tanpa ketahuan dosen mereka.
“Tapi, gimana Pak Yanto bisa tahu kalau kita mahasiswanya ya, atau bapaknya hanya sekedar ngomong ya tadi”, tanya Alda berasumsi.
“Ya iyalah Pak Yanto tahu, siapa suruh kamu pakai jaket angkatanmu”, jawa Adit masuk akal. Kata “Ooooh”pun keluar dari mulut dua anak di sampingnya.
        Alda mendongakkan wajahnya, kerlipan bintang di langit yang indah seolah menertawakannya dia yang telah mendoktrin diri sendiri sebagai anak nakal. Yang dia harap saat ini hanya menunggu kondisi aman lalu pulang dan meringkuk di kasurnya. Tiba-tiba lamunannya terpecah oleh suara asing yang menyentak.
“Itu! itu anaknya yang tadi kabur waktu lihat kita!!!”, tiba-tiba di depan ketiga mahasiswa itu sudah berdiri beberapa preman dengan berbagai macam senjata mulai dari cangkul, celurit, tongkat baseball, dan lain-lain
“Yang pakai kacamata itu kan kang yang mbunuh neng Ayu”, salah satu preman dengan senjata cangkul maju dan hendak menyerang Ramzi. Ketiga remaja itu berdiri dengan perasaan takkaruan dan campur aduk antara lari atau meminta penjelasan sambil melawan.
“Tunggu-tunggu pak, ini maksudnya apa? Saya nggak bunuh siapa-siapa!! Ucap Ramzi bercampur bingung, penasaran, dan takut.
“Nggak usah pura-pura bingung, kalau bukan kamu siapa lagi, kenapa kamu lari waktu lihat kita tadi kalau bukan karena ketakutan!! Si gundul bertato itu membentak dan melempar cangkulnya, cangkul yang bagian tajamnya menancap di tanah yang becek karena hujan itu hampir mengenai kaki Alda yang terpaku ketakutan.
“Tapi kami nggak lihat bapak-bapak ini tadi, kami lari karena dikejar dosen”, Adit dan Alda berusaha menjelaskan.
Mana ada dosen malam-malam begini, ngejar mahasisa. Kamu pasti cewek nggak bener keluar malam-malam dan kamu yang gondrong diam aja ini bukan urusan kalian! Teman kamu ini udah macarin, memperkosa, membunuh anak bos kami!”
“Tunggu ini maksudnya apa?”, tanya tiga remaja itu dengan suara bergetar.
“Nggak ada ampun buat pemerkosa!”, tiba-tiba Ramzi sudah dibekuk oleh dua preman yang bersiap-siap main hakim sendiri tanpa bukti. Alda yang menangis ketakutan tidak bisa berbuat apa-apa karena juga dalam posisi yang sama dengan Ramzi.
“Gimana kang, orang macam ini mau diapain?”, tanya si gundul bertato pada salah satu preman yang terlihat seperti pimpinan geng itu.
“Bikin cacat aja sesuai perintah Bos Haji Amin”, jawab yang ditanya. Ramzi yang berada pada ujung ketakutan hanya bisa menendang-nendang dan melawan sebisa mungkin, perlawanan yang tentu saja sia-sia karena lawannya adalah preman yang bertubuh kekar dan juga dengan kekuatan fisik yang terlatih. Alda yang mulutnya dibekap hanya bisa meronta-ronta, tak ada bedanya dengan posisi Adit. Si gundul yang terlihat paling sadis itu mengayunkan celuritnya diiringi teriakan Alda yang terbungkam namun hal yang tak disangka itu datang.
“Bukan itu orangnya Goooobloookkk!!! Hentikan!!! Stooop!! Bukan itu!!! ”, Suara itu berhasil menghentikan gerakan si gundul. Tiba-tiba dari arah belakang, ada rombongan preman yang terengah-engah berlari mendekat. Pria brewok berambut klimis itu mendekat ke arah Ramzi dan melepaskan dia dari cengkraman anak buahnya.
“Maksudnya gimana bos?”, beberapa preman yang menangkap tiga remaja itu bertanya kebingungan.
“Kita sudah menemukan orangnya tapi dia berhasil kabur, sekarang kita sedang dikejar warga”, Ucap si brewok yang ternyata pimpinan sebenarnya dari geng preman itu.
Alda, Ramzi, dan Adit yang sudah terlepas dari cengkraman preman-preman itu saling berangkulan dengan pikiran yang masih tidak karuan.
“Tadi Si Kawuk, nembak salah sasaran, yang kena tembak malah anak kecil, mati”, sekarang kita udah dikepung warga.
Benar saja, setelah itu banyak penduduk kampung yang membawa senter dan berbagai senjata mengejar preman-preman itu karena tidak terima anak dari salah satu warganya meninggal. Beberapa saat kemudia, kerusuhan itu terjadi. Kerusuhan itu dijadikan kesempatan untuk kabur bagi mereka bertiga.
        Setelah keluar dari hutan jati, Adit menghubungi polisi untuk menghentikan kerusuhan yang terjadi. Setidaknya ini adalah cara yang bisa dilakukan oleh remaja seperti mereka.
***
        Beberapa minggu setelah hari itu. Tersangka pembunuh Ayu anak Pak Haji Amin tertangkap. Dia adalah mahasiswa yang ternyata secara fisik memang mirip dengan Ramzi. Haji Amin dan para preman juga harus berhadapan dengan meja hijau karena perbuatan main hakim sendiri hingga menghilangkan nyawa orang lain.
Di dalam persidangan yang berlangsung, Alda, Ramzi, dan Adit dipanggil ke pengadilan negeri untuk menjadi saksi atas kerusuhan. Akhirnya permasalahan kesalahpahaman itu selesai dan mereka bisa kuliah seperti biasa. Tapi dengan tampilnya wajah mereka di televisi-televisi swasta dan kesaksian jujur yang mereka tuturkan, akhirnya Alda dan Ramzi harus pasrah untuk jadi mahasiswa yang ditandai oleh Pak Yanto sebagai mahasiswa tukang judi togel.