Oleh: Karlina Dwi Susanti
GARA-GARA
TOGEL
Langit
sedikit muram. Gerimis tipis di sore itu tidak mampu lagi menggoda Alda untuk
kembali terlelap. Tangan kirinya meraih handphone
sedangkan tangan kanannya menutupi mulutnya yang menguap. Mata bulat itu
menyapu langit-langit kamar. Suara tarhim
dari masjid yang berada di depan kamarnya menggema, Sambil menggaruk-garuk
kepala, dia mengatur tubuhnya untuk bangkit meninggalkan tempat nyaman itu.
Dengan tangan kiri membawa handuk dan tangan kanan membawa peralatan mandi, gadis 18 tahun itu berjalan dengan santai ke arah
kamar mandi yang kebetulan sedang kosong. Dia menoleh ke kanan saat ada suara
laki-laki yang memanggilnya dari kosan sebelah. Cowok berkacamata itu
melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar.
“Aaaaal, nanti malam
mingguannya jadi kan? Bbmku nggak kamu ‘R’, dasar!”, cowok yang sedang menjemur
pakaian di tengah gerimis itu bergumam sedikit sebal.
“Gak usah di ‘R’ juga kamu
bakalan manggil-manggil aku kaya barusan... jadi lah, ini aku mau mandi, kamu
tuh ngapain gerimis-gerimis gini malah jadi tukang laundry?”
“Ah biarin nanti juga
kalau besok panas bakalan kering pada waktunya”, ucapanya sambil memeras
potongan terakhir pakaiannya.
“Ok deh Ramzi semoga
baju-bajumu itu hasil akhirnya nggak bau, nanti jam setengah tujuh ya”, Alda tersenyum mengakhiri
pembicaraan dan bergegas ke kamar mandi. Alda dan Ramzi adalah mahasiswa baru
di fakultas yang sama. Mereka tinggal di kosan yang berbeda namun sama-sama di
lantai dua. Jarak balkon kosan Alda dan tempat jemuran di kosan Ramzi hanya
selebar jalan di gang yang memisahkan kedua kos-kosan itu. Acara hari ini
adalah mengunjungi kosan teman mereka sebagai langkah untuk lebih kenal dan
akrab dengan teman seangkatan.
***
Dengan
berjalan kaki di tengah gerimis yang lebih tipis dari sebelumnya, tiga remaja
itu menyusuri komplek perumahan. Sebagian besar perumahan di tempat itu dibangun untuk disewakan pada
para mahasiswa sebagai kos-kosan. Kondisi yang jauh dari keluarga membuat Alda ingin mendapat
kenyamanan baru di perantauan bersama teman-temannya ini. Setelah melewati
kuburan dan beberapa gang sempit, Alda, Ramzi, dan Adit telah sampai di depan
sebuah rumah kos berpagar jingga. Adit adalah teman kos Ramzi.
“Benar ini alamatnya?”,
tanya Ramzi sambil menyalakan sebatang rokok dan tak lupa menyodorkan yang utuh
untuk Adit.
“Betul kok, sebentar lagi
Giska juga keluar”, jawab Alda dengan tangan kanan yang sibuk dengan handphone dan tangan kiri mengibas-kibas sebagai kode bahwa dia benci asap rokok tapi percuma, dua cowok itu tak peka.
“Gelap banget ya di sini,
mana tadi lewat kuburan dan kebun jati pula”, komentar cowok berambut agak
gondrong dengan model tak jelas bernama Adit sambil menyulut rokok yang
terjebak di antara bibirnya.
Setelah
beberapa menit menunggu akhirnya ketiga orang itu sudah bisa bersantai di
gazebo kos-kosan gadis bertubuh subur bernama Giska. Tak terasa sudah pukul
sepuluh malam, terpaksa empat orang dengan muka penuh bedak bayi itu harus bubar,
mengakhiri permainan remi yang sebenarnya masih terlalu asik untu diakhiri.
Dengan berat hati ketiga remaja itu harus segera pamit untuk pulang, mereka
mempertimbangkan jam malam di kosan Alda yang tinggal satu jam lagi.
“Kalian hati-hati ya di
jalan , langsung pulang aja. Nanti kalau kalian lewat rumah warna pink yang
nggak ada pagarnya jalan terus aja jangan tolah-toleh”, Ucap Giska sambil
cekikikikan.
“Ah iya aku sudah tahu kok
Gis”, jawab Ramzi sambil melambaikan tangannya diiringi tawa dari Alda. Adit
yang tak mengerti hanya membatin untuk menanyakan tentang rumah pink nyentrik
itu nanti di tengah perjalanan.
Diiringi suara gitar dari deretan kos yang mereka lewati berpadu lantunan kodok sawah, ketiga
remaja itu memilih jalan yang sama dengan tadi. Dengan berdeham terlebih
dahulu, Adit bersiap untuk menanyakan tentang rumah pink yang berjarak beberapa
meter di depan mereka namun niatnya terhenti saat sebuah suara yang menyentak
itu memecahkan keheningan malam.
“Ramziii!! Aldaaaa!!”,
suara cempreng dengan logat madura itu tak asing. Ramzi dan Alda
menoleh pada cowok ganteng yang sedang berkumpul dengan beberapa temannya di teras sebuah kos-kosan laki-laki.
“Heeeeiii Fajaaaar....,
jadi kamu ngekos di sini ya?”, tanya Alda yang sebelumnya ngantuk mendadak jadi
penuh semangat. Ramzi dan Adit hanya saling bertatapan dan menaikkan alis
masing-masing. Fajar jugalah teman seangkatan dari Alda dan Ramzi.
“Enggak aku cuma main ke
temanku di sini, mau beli togel”, jawab Fajar tanpa basa-basi. Perasaan Alda
hancur.
“Haaa? Togel gimana jar
maksud kamu?” tanya Ramzi penasaran.
“Kamu mau? Ayo deh ikutan. Ini, orangnya yang jual udah ngabarin baru sampai”, sambung salah satu teman
Fajar yang bangkit sambil meletakkan gitar.
“ Emang dimana tempatnya,
aku juga ikut ah”, jawab Ramzi yang membuat Alda protes. Memang sejak beberapa
bulan kenal, Alda tahu bahwa gaya hidup Ramzi memang sedikit berbeda dari
remaja pada umumnya. Tapi baru pertama ini dia melihat salah satu hal gila yang
tidak pernah terlintas di pikirannya.
“Itu di dekat warung
angkringan sampingnya rumah pink, ayo cepetan orangnya cuma sebentar dan
tenang, kalian pasti kenal kok sama orangnya.”
“Ini gila...”, ucap Alda
sambil membayangkan mereka akan bertransaksi togel tepat di samping rumah dosen
killer mereka. Yang terpikir oleh Alda adalah saat mereka transaksi, dosen yang
terkenal mudah hafal dengan wajah mahasiswa itu sedang berada di luar rumah dan
menandai mereka. Tentu jika hal itu benar-benar terjadi akan menjadi bencana
bagi perkuliahannya.
***
Dengan keahliannya meramal togel yang tidak dimengerti oleh
Alda dan Adit, Ramzi sudah mengantongi beberapa nomor yang siap untuk diadu dan
menunggu pengumuman.
“Ayo Ramzi pulang, katanya
cuma sebentar”, Kekhawatiran bercampur rasa bersalah terlihat dari cara Alda
menarik-narik baju Ramzi agar segera pergi dari tempat maksiat itu.
“Ooooh, jadiiii malam
mingguannya mahasiswa bapak kaya gini ini ya”, suara baritone itu membuat bulu
kuduk remaja yang sedang berkerumun itu berdiri. Hal yang dibayangkan Alda
terjadi. Untunglah kondisi jalanan yang minim cahaya menyelamatkan wajah mereka
dari dosen yang terkenal killer itu.
Tanpa aba-aba, semua orang yang terlibat dalam transaksi langsung berlari dengan arah yang terpencar. Beruntung Alda tidak terpisah dari
Ramzi dan Adit, namun tanpa mereka sadari mereka sudah berada di tengah kebun
jati yang gelap dan cukup membuat jantung tak henti-hentinya tersentak. Suasana
malam yang gelap membuat tangan Alda yang basah menggenggam tangan kedua
sahabatnya dengan erat. Tiga orang yang masih ngos-ngosan itu berhenti dan
berjongkok di bawah sebuah pohon jati yang lumayan terkena sinar rembulan. Dua
remaja laki-laki itu tertawa lepas, seolah hal yang terjadi barusan sangatlah
lucu.
“Ya Allah mulai sekarang
aku sudah jadi anak nakal, gimana kalau kita masuk penjara?”, ucap Alda sambil
menggigiti kuku-kukunya. Ramzi dan Adit yang melihat kepolosan gadis itu hanya
tersenyum menahan tawa, yang penting bagi mereka adalah bagaimana menemukan
celah untuk pulang tanpa ketahuan dosen mereka.
“Tapi, gimana Pak Yanto
bisa tahu kalau kita mahasiswanya ya, atau bapaknya hanya sekedar ngomong ya
tadi”, tanya Alda berasumsi.
“Ya iyalah Pak Yanto tahu,
siapa suruh kamu pakai jaket angkatanmu”, jawa Adit masuk akal. Kata “Ooooh”pun
keluar dari mulut dua anak di sampingnya.
Alda mendongakkan wajahnya, kerlipan bintang di langit yang
indah seolah menertawakannya dia yang telah mendoktrin diri sendiri sebagai
anak nakal. Yang dia harap saat ini hanya menunggu kondisi aman lalu pulang dan
meringkuk di kasurnya. Tiba-tiba lamunannya terpecah oleh suara asing yang
menyentak.
“Itu! itu anaknya
yang tadi kabur waktu lihat kita!!!”, tiba-tiba di depan ketiga mahasiswa itu
sudah berdiri beberapa preman dengan berbagai macam senjata mulai dari cangkul,
celurit, tongkat baseball, dan lain-lain
“Yang pakai kacamata itu
kan kang yang mbunuh neng Ayu”, salah satu preman dengan senjata cangkul maju
dan hendak menyerang Ramzi. Ketiga remaja itu berdiri dengan perasaan takkaruan
dan campur aduk antara lari atau meminta penjelasan sambil melawan.
“Tunggu-tunggu pak, ini
maksudnya apa? Saya nggak bunuh siapa-siapa!! Ucap Ramzi bercampur bingung,
penasaran, dan takut.
“Nggak usah pura-pura
bingung, kalau bukan kamu siapa lagi, kenapa kamu lari waktu lihat kita tadi
kalau bukan karena ketakutan!! Si gundul bertato itu membentak dan melempar
cangkulnya, cangkul yang bagian tajamnya menancap di tanah yang becek karena
hujan itu hampir mengenai kaki Alda yang terpaku ketakutan.
“Tapi kami nggak lihat
bapak-bapak ini tadi, kami lari karena dikejar dosen”, Adit dan Alda berusaha
menjelaskan.
“Mana ada dosen malam-malam begini, ngejar mahasisa. Kamu pasti cewek nggak
bener keluar malam-malam dan kamu yang gondrong diam aja ini bukan urusan
kalian! Teman kamu ini udah macarin, memperkosa, membunuh anak bos kami!”
“Tunggu ini maksudnya
apa?”, tanya tiga remaja itu dengan suara bergetar.
“Nggak ada ampun buat
pemerkosa!”, tiba-tiba Ramzi sudah dibekuk oleh dua preman yang bersiap-siap
main hakim sendiri tanpa bukti. Alda yang menangis ketakutan tidak bisa berbuat
apa-apa karena juga dalam posisi yang sama dengan Ramzi.
“Gimana kang, orang macam
ini mau diapain?”, tanya si gundul bertato pada salah satu preman yang terlihat
seperti pimpinan geng itu.
“Bikin cacat aja sesuai
perintah Bos Haji Amin”, jawab yang ditanya. Ramzi yang berada pada ujung
ketakutan hanya bisa menendang-nendang dan melawan sebisa mungkin, perlawanan
yang tentu saja sia-sia karena lawannya adalah preman yang bertubuh kekar dan
juga dengan kekuatan fisik yang terlatih. Alda yang mulutnya dibekap hanya bisa
meronta-ronta, tak ada bedanya dengan posisi Adit. Si gundul yang terlihat
paling sadis itu mengayunkan celuritnya diiringi teriakan Alda yang terbungkam
namun hal yang tak disangka itu datang.
“Bukan itu orangnya Goooobloookkk!!!
Hentikan!!! Stooop!! Bukan itu!!! ”, Suara itu berhasil menghentikan gerakan si
gundul. Tiba-tiba dari arah belakang, ada rombongan preman yang terengah-engah
berlari mendekat. Pria brewok berambut klimis itu mendekat ke arah Ramzi dan
melepaskan dia dari cengkraman anak buahnya.
“Maksudnya gimana bos?”,
beberapa preman yang menangkap tiga remaja itu bertanya kebingungan.
“Kita sudah menemukan
orangnya tapi dia berhasil kabur, sekarang kita sedang dikejar warga”, Ucap si
brewok yang ternyata pimpinan sebenarnya dari geng preman itu.
Alda, Ramzi, dan Adit yang
sudah terlepas dari cengkraman preman-preman itu saling berangkulan dengan
pikiran yang masih tidak karuan.
“Tadi Si Kawuk, nembak salah
sasaran, yang kena tembak malah anak kecil, mati”, sekarang kita udah dikepung
warga.
Benar
saja, setelah itu banyak penduduk kampung yang membawa senter dan berbagai senjata
mengejar preman-preman itu karena tidak terima anak dari salah satu warganya
meninggal. Beberapa saat kemudia, kerusuhan itu terjadi. Kerusuhan itu
dijadikan kesempatan untuk kabur bagi mereka bertiga.
Setelah keluar dari hutan jati, Adit menghubungi polisi untuk
menghentikan kerusuhan yang terjadi. Setidaknya ini adalah cara yang bisa
dilakukan oleh remaja seperti mereka.
***
Beberapa minggu setelah hari itu. Tersangka pembunuh Ayu anak
Pak Haji Amin tertangkap. Dia adalah mahasiswa yang ternyata secara fisik
memang mirip dengan Ramzi. Haji Amin dan para preman juga harus berhadapan
dengan meja hijau karena perbuatan main hakim sendiri hingga menghilangkan
nyawa orang lain.
Di
dalam persidangan yang berlangsung, Alda, Ramzi, dan Adit dipanggil ke
pengadilan negeri untuk menjadi saksi atas kerusuhan. Akhirnya permasalahan
kesalahpahaman itu selesai dan mereka bisa kuliah seperti biasa. Tapi dengan
tampilnya wajah mereka di televisi-televisi swasta dan kesaksian jujur yang
mereka tuturkan, akhirnya Alda dan Ramzi harus pasrah untuk jadi mahasiswa yang
ditandai oleh Pak Yanto sebagai mahasiswa tukang judi togel.