Selasa, 10 Maret 2015


MASKOKI GEMBUL (NO EDITING)
Oleh Karlina Dwi Susanti

 Hasil gambar untuk maskoki
Hanya sendiri bertemankan sejuntai ganggang air yang menjadi penambah pasokan oksigen untuk syarat hidup, dia tidak punya teman untuk menjalani hari-harinya.Tapi gambaran kebahagiaan terlihat jelas dari raut wajahnya yang gembul.Berenang ke sana kemari dalam wadah sempit dengan penuh kecerianaan tanpa beban hidup. Mulutnya yang megap-megap seolah tersenyum kala pria tegap berseragam coklat itu menaburkan sedikit pakan ke dalam wadah berisi air sebagai rumah ikan maskoki itu.Pria itu tersenyum ke arahku sembari menepuk ujung kepalaku dan Eko.Pria setengah abad itu berlalu lagi untuk mengambil sesuatu.Mungkin berkas daftar pertnyaan untuk meminta keterangan dari kami.Kulirik wajah Eko, kutemukan Eko yang masih pucat dan ketakutan.Aku menepuk pundaknya berusaha menyalurkan ketenangan.
Entah detik ke berapa sejak wajah polos aku dan Eko memasuki ruangan berhawa mencekam ini, langit-langit atas ubun-ubun kami seakan menjuntaikan jarum-jarum ketakutannya.Gemetar kaki dan tangan kami mulai surut.Menurut pengamatanku kami dipinta masuk ke ruangan ini dan duduk di kursi depan meja kerja bapak berkumis tebal ala pak raden ini sejak acara berita yang tergambar di televisi ruangan itu dimulai.Sampai ketika lagu soundtrak opening film anime kesayanganku terdengar, hari kemarin aku masih menikmati dan menirukan lagu itu dengan lirik ngawur namun penuh kebahagiaan, tapi saat ini lagu itu malah membuat dadaku semakin sesak mengingat kejadian beberapa jam yang lalu itu.Kulirik lagi si maskoki gembul di pinggiran meja, sepertinya aku ingin menjadi ikan maskoki itu saja.
Aku menyesal, seharusnya aku tidak mengikuti ajakan Eko untuk main ke rumah Mey tadi, toh aku juga cuma jadi obat nyamuk kualitas super.Eko memang keren tidak sepertiku, pantas saja Mey tidak keberatan jika Eko sering sekali mendatangi rumahnya
Seharusnya sekarang aku berada di rumah, menonton anime kesukaanku itu sambil ditemani kudapan mie instan yang aku padukan dengan bakso dagangan ayah dan getuk sisa jualan ibu.Tapi di sinilah kenyataan yang aku alami dan tidak pernah terdaftar dalam pikiranku sama sekali.Bokong tambunku duduk di ruang interogasi Kapolres Kecamatan Madu dengan jiwa yang tertekan.Aku dan Eko yang masih duduk di kelas 3 SLTP hanya bisa terdiam, menyesali hari Rabu ini.Berbagai pertanyaan di benak menguras kekuatan mental membuat ubun-ubun dan leher ini semakin panas.Pertanyaan atas kejadian di jalan pulang dari rumah Mey.Pertanyaan tentang bagaimana keadaan orang itu apakah dia selamat ataukah sudah tidak ada di dunia ini, bagaimanapun aku melihat laki-laki itu dalam keadaan luka parah .Darah segar terus mengalir bagai telaga dari bagian belakang kepalanya, dia tidak sadarkan diri dan langsung dibawa ke rumah sakit terdekat.Sedangkan kami di sini dengan berbagai kegundahan di hati dan otak pentium 3 ini, hanya luka kecil yang kami alami.Segera setelah kami di antar di rumah sakit digelandanglah kami ke tempat ini, sedangkan pria itu aku tidak tahu nasibnya.Bagaiman jika dia tidak tertolong.Bagaimana jika keluarganya menuntut kami dengan amarah dan dendam.Bagaimana tanggapan ayah dan ibu jika mereka sudah tahu akan hal ini.Ingin menangis rasanya.Belum lagi membayangkan bagaimana tanggapan guru-guru dan teman-teman.Bagaimana pula aku bisa mengikuti UN nantinya.Aku hanya terus berdo’a dalam hati semoga ini hanya mimpi.Hanya mimpi dan aku akan terbangun sebentar dari mimpi yang terasa sangat nyata ini.
***
Dua hari sudah aku tidak masuk sekolah, dua hari sudah aku kehilangan tawaku.Pria korban tabrakan itu meninggal.Keluarga dari pria itu memaki aku dan Eko habis-habisan dengan umpatan-umpatan kasar seperti yang sering akau dengar saat pertengkaran ayah dan ibu telah tiba, hal itu terjadi di kantor polisi, ayah dan ibuku juga sudah berada di sana.Sedangkan Eko hanya didampingi oleh kakaknya.Keluarga korban  juga menuntut hukum tetap diberlakukan terhadap anak di bawah umur seperti kami.Setiba di rumah ayah memarahiku dan bersiap menghajarku dengan sapu lidi yang diambilnya dari pekarangan rumah.Sedangkan ibu berusaha menghalangi ayah yang sudah mengangkat gagang sapu dengan berdiri tepat di hadapanku.Aku terduduk dengan posisi tangan membentuk tameng memeluk tubuhku sendiri, setiba di rumah aku menangis sejadi-jadinya tidak peduli jika aku adalah anak laki-laki yang harus tegar.Ibu meneriakiku masuk ke kamar dan pertengkaran sengit suami istri itu kembali terjadi, kali ini dengan tema saling menyalahkan atas bagaimana cara mendidik anak, hal yang terdengar tidak asing bagiku.Aku terduduk di balik pintu kamarku, menatap gulungan jingga dari balik jendela.Adzan magrib berkumandang, pertengkaran ayah dan ibu terhenti.
            Lama dalam posisiku bersila di balik pintu, kakiku yang kesemutan membuatku harus berdiri, baru kusadari keberadaan luka lebam-lebam di daerah sekitar perutku.Lumayan sakit, tapi lebih baik aku koma beberapa hari di rumah sakit dari pada harus mendengar pria yang tertabrak itu meninggal karena ulah bocah ABG labil semacam kami.Dengan malas kuseret tubuhku yang masih gendut ini ke arah jendela.Gulungan jingga telah berubah menjadi ungu tua dengan sisa-sisa serabut jingga di kaki-kaki langit.Setelah memastikan jendela terkunci rapat aku berlalu untuk mengambil wudlu, langkahku terhenti saat mataku menangkap setumpukan buku pelajaran dan satu buku tebal bersampulkan “SUKSES UJIAN NASIONAL UNTUK SLPT SEDERAJAT”.Tubuhku merasa lemas lagi, sisa kesemutan di kakiku terasa bagai hujaman seribu jarum yang tidak henti-hentinya menghukum pikiranku.Bagaimana aku bisa ikut Ujian Nasional jika statusku saat ini saja adalah tersangka.Sirna sudah semangat belajarku yang kukumpulkan dengan susah payah, nafsuku untuk menyentuh tumpukan di atas meja kamarku itu melebur bagai permen kapas yang tercelup ke dalam seember air.Hilang tanpa bekas.
***
Aku sedih melihat kedua orang tuaku.Ayahku yang kaku dan ibuku yang selalu melindungi dan menyayangiku.Ibu tidak pernah sekalipun memarahiku jika aku tidak menurut, oleh sebab itulah ayahku sering bersinggung pendapat dengan ibu dan menganggap jika ibu selalu memanjakanku.Tapi aku tidak manja, aku tumbuh seperti anak laki-laki pada umumnya.Hanya saja tubuhku terlalu gemuk untuk bisa menjadi pemain tim basket seperti Eko, dalam olahraga aku memang agak payah.Dalam hal akademik bisa dibilang aku cukup pas-pasan.Oleh karena itulah aku harus belajar lebih giat lagi jika aku tidak mau mendapati seorang petugas datang ke teras rumahku mengantar surat pernyataan tidak lulus Ujian Nasional saat pengumuman nanti.Namun apa daya semangatku luntur sudah, berganti hari-hari penuh rasa sesal dan bersalah yang selalu menghantui setiap aku memikirkan apapun.Anime faforitku juga tidak pernah aku ikuti, entah sudah episode ke berpa sekarang.Eko juga tidak menghubungiku sejak hari itu, aku pun malas menghubunginya.
***
Sifat ayah sudah tidak seperti beberapa hari yang lalu, beliau langsung memaafkan aku begitu dia menerima telpon dari kepolisian.Menurut penyelidikan polisi dan keterangan saksi yang jujur, pria itu ternyata mengemudi dalam keadaan mabuk pil dan keluar jalurnya lalu menabrak kami yang sudah naik motor dengan benar sesuai peraturan lalulintas, meskipun saat itu kami tidak ada helm dan SIM.Eko yang memboncengku tidak kuasa menghindari kejadian naas berujung maut itu.Saksi yang memberi keterangan palsu jika Eko yang membuat kesalahan itu ternyata masih sahabat korban.Eko dan aku bersyukur tatkala semua kebenaran itu terungkap berkat saksi lain yang bersedia berkata jujur.Banyak nasihat-nasihat yang mengalun dari ayah dari kejadian ini.Hal yang pertama terpikirkan olehku adalah mengambil hape untuk langsung menelpon Eko.
Aku berlari menuju kamarku.Niatku terhenti saat tanganku hanya tinggal beberapa jengkal dari benda bercorak hitam putih itu.Ayah meneriakiku jika ada teman yang datang. Itu pasti Eko, pikirku.Dengan wajah sumringah aku berjalan dengan cepat ke arah ruang tamu.Tidak ada Eko di sana, melainkan Mey dengan senyumnya yang dipaksakan.
Mey menangis saat ada dia menceritakan bagaimana keadaan Eko, Mey bilang jika Eko masih ingin menenangkan diri di rumah.Eko benar-benar trauma bahkan dia mencoba untuk menyiksa dirinya sendiri, mengurung diri di kamar selama berhari-hari dan gemetar ketakutan jika mendengar suara seoeda motor dipacu kencang.Keadaan Eko sangat kacau, lebih mirip orang dalam tahap depresi.Aku tersentak mendengar cerita dari Mey.Aku bergegas menceritakan informasi dari pihak berwajib, wajah Mey bersinar.Aku dan Mey bergegas pergi ke rumah Eko tanpa mengganti pakaianku yang sedikit bolong di bagian punggung.Eko pasti akan lega dengan kabar ini, bahwa dia tidak bersalah.Kami akan belajar bersama-sama lagi dengan penuh semangat mengahadapi Ujian Nasional dua minggu yang akan datang.Kami bertiga juga akan mengunjungi keluarga korban untuk menjelaskan duduk persoalannya dengan didampingi petugas, lalu berkunjung ke makam pria itu.
***
Harum pandan dan minyak khas pesarean masih kental berputar di sekitar gundukan yang masih merah ini.Hatiku trenyuh menatap nisan polos belum berukirkan nama penghuni di permukaan kayunya.Ayahku membacakan do’a,  aku dan Mey mengaamiininya serta ikut membaca do’a yang aku hafal.Kubuka bungkusan berisi benda beraroma sama dengan tempat ini.Kutahan sekuat-kuatnya air mataku agar tetap pada tempatnya.Hembusan angin membelai kepalaku saat bunga itu jatuh satu persatu dari genggaman tangan kananku ke atas pusara sahabatku, Eko.Eko meninggal dikarenakan terkena gegar otak yang didapatkannya saat kecelakaan sebulan lalu itu.Penanganan yang terlambat membuat kondisinya semakin hari semakin melemah.Dia sering mengeluh pusing dan tidak kuat untuk belajar, awalnya aku hanya mengira itu semua adalah bagian dari hari-harinya yang masih penuh tekanan.Bahkan saat ujian nasional aku dan Mey membantu Eko dengan segala akal bulus kami, memberikan semua jawaban pada Eko.Kami bertiga lulus Ujian Nasional, begitulah yang dikatakan oleh pengumuman pagi tadi.
Terimakasih atas semua yang kita lalui bersama sahabat, hari-hari itu akan aku hargai.Aku akan selalu mengenang kenakalan kita dan pelajaran dari hal itu.Selamat jalan sobat, dalam hatiku akan selalu ada ruang untukmu.Semoga kamu mendapat tempat yang istimewa di samping Tuhan.Eko sahabatku.Setidaknya kita bisa menikmati hidup kita seperti maskoki gembul yang riang berenang ke sana kemari walau dalam wadah yang sempit dalam ruang dan waktu kita yang telah berbeda.


SELAMAT TINGGAL KAWAN PART 1 ( NO EDITING)
Oleh Karlina Dwi Susanti

Alunan gemulai lantunan tembang jawa adalah secuil dari motivasi emosional untuk semangatku.Agaknya di kosan ini hanya aku yang berpikiran jika tembang macam itu pilihan yang bagus sebagai pendongkrak semangat.Telingaku melahap gelombang bunyi klasik ini layaknya anak muda wannabe yang menikmati musik mancanegara yang super keren seperti Linkin Park, One Direction dan aneka musik pop lainnya.Malam yang semakin kelam tak mampu meredupkan semangatku untuk tetap terjaga.Justru semangat itu semakin terang layaknya juntaian ribuan bintang menjelang dini hari, semakin kentara cahayanya seiring bertambah pekat hawa malam yang menyelimuti mereka.  
Besok adalah hari pertama aku masuk kerja di kantor sebagai pegawai tetap setelah setahun sebelumnya aku hanya pekerja lepas di perusahaan itu.Semua pekerjaanku hampir selesai untuk penerbitan majalah mingguan ini besok lusa, tumpukan gambar tangan karyaku di sudut meja terlihat di mataku bagai tumpukan pundi-pundi yang akan mengalir ke rekeningku yang sudah mulai mengering.Aku tersenyum, hanya tinggal beberapa lembar ilustrasi yang harus kuselesaikan.Kutorehkan lagi pena hitam kesayanganku, menebalkan sketsa adalah hal paling hati-hati untuk kulakukan.Aku terdiam sejenak.Tinta yang agaknya sudah mengering ini membuatku menunda sesaat pekerjaanku.Kepalaku clingak-clinguk ke meja di sampingku untuk mencari keberadaan tinta bak.Sejengkal lagi tanganku pasti sudah meraih benda itu, kecuali saat makhluk itu menatapku dengan sepasang mata majemuknya.Aku terkesiap, dia dengan cekatan mendekat ke arahku dengan merangkak.Sayap hitam mengkilatnya menambah ketakutanku.Aku takut jika ia akan terbang dan menyerangku dengan racun dari bagian ujung tubuhnya.Sampai akhirnya aku memukul tubuh avertebrata itu dengan benda terdekat yang berhasil aku raih.Satu pukulan tidak membuatnya mati, dua, tiga dan entah pada pukulan ke berapa ia mati.Saat makhluk itu tidak lagi bergerak, penyesalan mulai menggerayangi nuraniku.Bukankah dia juga makhluk Tuhan yang juga mencari kehidupan selayaknya aku.Kulihat tubuh kecil lemahnya yang hanya seukuran beberapa milimeter itu.Mungkin dia tersesat masuk kamarku dan hanya ingin menemukan jalan keluarnya, dia mati karena ketakutanku.Aku harap semut bersayap itu langsung dipilihkan tempat yang indah oleh Tuhan di alamnya sekarang.Tidak jarang cara pikirku masih seperti anak yang baru bisa naik sepeda beroda dua.
Ketakutanku yang tak seberapa hingga membuat makhluk tak berdosa itu mati membuatku merenung.Bayangan massa lalu menari liar di kepalaku.Memang beginilah sikap manusia, kita seringkali terlalu takut akan hal yang aneh dan sedikit berbeda.Dari ketakutan itulah manusia bisa menjadi makhluk paling menakutkan yang sebenarnya.Sudah menjadi fakta jika banyak makhluk lain di muka bumi yang menjadi korban dari ketakutan manusia.Ketakutan akan sesuatu yang berbeda dari mereka.Itulah kata-kata yang sering aku dengar dari sahabatku yang entah sudah berapa kali ia katakan hingga aku sangat hafal.
Salah satu contoh dari ucapan sahabatku adalah kasus pembunuhan tiga ekor harimau di hutan baru-baru ini, harimau-harimau itu ditemukan mati dalam kondisi mengenaskan.Mati akibat rasa ketakutan manusia pada hewan bertaring dan bercakar itu.Manusia takut jika harimau akan memasuki wilayah penduduk.Padahal manusialah yang sebenarnya merebut wilayah mereka.Habitat merek disulap menjadi perkampungan penduduk.Tanpa tahu apa yang terjadi harimau-harimau itu berkeliaran mencari makan seperti biasa di tempat berbahaya yang masih mereka pikir adalah habitatnya.
Bicara soal harimau aku selalu teringat akan sahabat lamaku, sahabatku sejak aku mulai bisa berinteraksi dengan makhluk selain aku.Jika ditanya apa aku merindukannya, ya aku merindukannya.Dan apakah aku ingin bertemu dengannya, jawabannya tidak.Tidak sama sekali.Biarkan dia bahagia di alamnya.Tuhan maha tahu apa yang terbaik untuknya.Untukku.Dia sudah cukup lama menemaniku dan membantuku berubah menjadi seperti sekarang, menjadi Sekar memandang dunia dengan sudut pandang yang lebih baik.
***
Tangan yang mulai dihiasi keriput itu dengan seksama membolak-balik isi map yang aku kerjakan kemarin, dia tersenyum puas melihat hasil kerjaku.Jempol yang terangkat itu membuat senyumku terukir.Aku pun mengucap ribuan syukur di dalam hatiku.Membayangkan rupa Nuri yang akan kecewa dengan apa yang aku raih hari ini.Kubalikkan wajahku ke arah berlawanan dengan tubuhku.Terlihat dari ekspresinya dari balik rumpun bunga matahari di mejanya.Miss kuning yang menyebalkan dan paling sok seantero kantor penerbitan ini.Membuatku semakin jijik dengan warna kuning.Aku memang sudah sangat lama tidak pernah bertegur sapa dengan staff devisi pembuat berita tentang rubrik seleb ini.Mulut nyinyirnya cocok untuk pekerjaanya yang semacam itu.Aku sangat bangga dengan jatah kerjaku yang hanya corat-coret membuat ilustrasi dari beberapa rubrik di majalah ini,tanpa membuat-buat berita yang dipaksakan.Bisa dibawa pulang dan dikerjakan dengan santai di kosan.Aku tidak memikirkan jika gajiku tidak setinggi miss sok cantik beralis sablon itu.Aku menikmati tiap inchi torehan pensilku untuk majalah wanita ini hingga dalam bekerja selama ini aku seolah bersenang-senang dengan hobiku.
Aku mengucap permisi pada Bu Hilya pimpinan redaksi kami.Memasang tampang kemenangan.Kaki dengan heels tujuh sentimeterku menyusuri lantai, berhenti sejenak di depan meja kerja si miss ta*k.Beradu pandang dengan matanya yang agak takut-takut memandangku adalah hal dengan sensasi tersendiri bagi sisi jiwaku yang pendendam.Aku mencari meja kerjaku, mengistirahatkan kakiku yang tetap saja tidak pernah bisa berteman baik dengan sepatu bertatakan sol runcing ini.Pekerjaanku mulai bertambah hari ini, Aku dipercaya membuat proposal-proposal yang ditujukan ke berbagai tempat menarik untuk diliput pihak reporter redaksi kami.Tentu saja aku masih traini dan aku berucap syukur bukan si Nuri yang menjadi trainerku.
Tak terasa waktu berlalu sangat cepat, aku sedang menikmati kegiatanku menghitung rincian keuangan dalam salah satu proposal kunjungan ke suatu rumah pengobatan alternatif di luar pulau.Tiba-tiba tiga teman menghampiri mejaku untuk mengajakku makan siang.Mereka adalah rekan kerja yang cukup mengenalku, bahkan Delia adalah salah satu teman kuliahku dulu.Kami keluar ruangan dengan berhaha-hihi ria.Delia adalah satu-satunya orang yang paham akan sejarah aku dan Nuri.
***
PART 1 END, TBC...