MASKOKI GEMBUL (NO EDITING)
Oleh
Karlina Dwi Susanti
Hanya sendiri bertemankan sejuntai
ganggang air yang menjadi penambah pasokan oksigen untuk syarat hidup, dia
tidak punya teman untuk menjalani hari-harinya.Tapi gambaran kebahagiaan
terlihat jelas dari raut wajahnya yang gembul.Berenang ke sana kemari dalam
wadah sempit dengan penuh kecerianaan tanpa beban hidup. Mulutnya yang
megap-megap seolah tersenyum kala pria tegap berseragam coklat itu menaburkan
sedikit pakan ke dalam wadah berisi air sebagai rumah ikan maskoki itu.Pria itu
tersenyum ke arahku sembari menepuk ujung kepalaku dan Eko.Pria setengah abad
itu berlalu lagi untuk mengambil sesuatu.Mungkin berkas daftar pertnyaan untuk
meminta keterangan dari kami.Kulirik wajah Eko, kutemukan Eko yang masih pucat
dan ketakutan.Aku menepuk pundaknya berusaha menyalurkan ketenangan.
Entah detik ke berapa sejak wajah
polos aku dan Eko memasuki ruangan berhawa mencekam ini, langit-langit atas
ubun-ubun kami seakan menjuntaikan jarum-jarum ketakutannya.Gemetar kaki dan
tangan kami mulai surut.Menurut pengamatanku kami dipinta masuk ke ruangan ini
dan duduk di kursi depan meja kerja bapak berkumis tebal ala pak raden ini
sejak acara berita yang tergambar di televisi ruangan itu dimulai.Sampai ketika
lagu soundtrak opening film anime kesayanganku terdengar, hari kemarin aku
masih menikmati dan menirukan lagu itu dengan lirik ngawur namun penuh
kebahagiaan, tapi saat ini lagu itu malah membuat dadaku semakin sesak mengingat
kejadian beberapa jam yang lalu itu.Kulirik lagi si maskoki gembul di pinggiran
meja, sepertinya aku ingin menjadi ikan maskoki itu saja.
Aku menyesal, seharusnya aku
tidak mengikuti ajakan Eko untuk main ke rumah Mey tadi, toh aku juga cuma jadi
obat nyamuk kualitas super.Eko memang keren tidak sepertiku, pantas saja Mey
tidak keberatan jika Eko sering sekali mendatangi rumahnya
Seharusnya sekarang aku berada di
rumah, menonton anime kesukaanku itu sambil ditemani kudapan mie instan yang
aku padukan dengan bakso dagangan ayah dan getuk sisa jualan ibu.Tapi di
sinilah kenyataan yang aku alami dan tidak pernah terdaftar dalam pikiranku
sama sekali.Bokong tambunku duduk di ruang interogasi Kapolres Kecamatan Madu
dengan jiwa yang tertekan.Aku dan Eko yang masih duduk di kelas 3 SLTP hanya
bisa terdiam, menyesali hari Rabu ini.Berbagai pertanyaan di benak menguras
kekuatan mental membuat ubun-ubun dan leher ini semakin panas.Pertanyaan atas
kejadian di jalan pulang dari rumah Mey.Pertanyaan tentang bagaimana keadaan
orang itu apakah dia selamat ataukah sudah tidak ada di dunia ini, bagaimanapun
aku melihat laki-laki itu dalam keadaan luka parah .Darah segar terus mengalir
bagai telaga dari bagian belakang kepalanya, dia tidak sadarkan diri dan
langsung dibawa ke rumah sakit terdekat.Sedangkan kami di sini dengan berbagai
kegundahan di hati dan otak pentium 3 ini, hanya luka kecil yang kami alami.Segera
setelah kami di antar di rumah sakit digelandanglah kami ke tempat ini,
sedangkan pria itu aku tidak tahu nasibnya.Bagaiman jika dia tidak tertolong.Bagaimana
jika keluarganya menuntut kami dengan amarah dan dendam.Bagaimana tanggapan
ayah dan ibu jika mereka sudah tahu akan hal ini.Ingin menangis rasanya.Belum
lagi membayangkan bagaimana tanggapan guru-guru dan teman-teman.Bagaimana pula
aku bisa mengikuti UN nantinya.Aku hanya terus berdo’a dalam hati semoga ini
hanya mimpi.Hanya mimpi dan aku akan terbangun sebentar dari mimpi yang terasa
sangat nyata ini.
***
Dua hari sudah aku tidak masuk
sekolah, dua hari sudah aku kehilangan tawaku.Pria korban tabrakan itu
meninggal.Keluarga dari pria itu memaki aku dan Eko habis-habisan dengan
umpatan-umpatan kasar seperti yang sering akau dengar saat pertengkaran ayah dan
ibu telah tiba, hal itu terjadi di kantor polisi, ayah dan ibuku juga sudah
berada di sana.Sedangkan Eko hanya didampingi oleh kakaknya.Keluarga korban juga menuntut hukum tetap diberlakukan
terhadap anak di bawah umur seperti kami.Setiba di rumah ayah memarahiku dan
bersiap menghajarku dengan sapu lidi yang diambilnya dari pekarangan rumah.Sedangkan
ibu berusaha menghalangi ayah yang sudah mengangkat gagang sapu dengan berdiri
tepat di hadapanku.Aku terduduk dengan posisi tangan membentuk tameng memeluk
tubuhku sendiri, setiba di rumah aku menangis sejadi-jadinya tidak peduli jika
aku adalah anak laki-laki yang harus tegar.Ibu meneriakiku masuk ke kamar dan
pertengkaran sengit suami istri itu kembali terjadi, kali ini dengan tema
saling menyalahkan atas bagaimana cara mendidik anak, hal yang terdengar tidak
asing bagiku.Aku terduduk di balik pintu kamarku, menatap gulungan jingga dari
balik jendela.Adzan magrib berkumandang, pertengkaran ayah dan ibu terhenti.
Lama
dalam posisiku bersila di balik pintu, kakiku yang kesemutan membuatku harus
berdiri, baru kusadari keberadaan luka lebam-lebam di daerah sekitar
perutku.Lumayan sakit, tapi lebih baik aku koma beberapa hari di rumah sakit
dari pada harus mendengar pria yang tertabrak itu meninggal karena ulah bocah
ABG labil semacam kami.Dengan malas kuseret tubuhku yang masih gendut ini ke
arah jendela.Gulungan jingga telah berubah menjadi ungu tua dengan sisa-sisa
serabut jingga di kaki-kaki langit.Setelah memastikan jendela terkunci rapat
aku berlalu untuk mengambil wudlu, langkahku terhenti saat mataku menangkap
setumpukan buku pelajaran dan satu buku tebal bersampulkan “SUKSES UJIAN
NASIONAL UNTUK SLPT SEDERAJAT”.Tubuhku merasa lemas lagi, sisa kesemutan di
kakiku terasa bagai hujaman seribu jarum yang tidak henti-hentinya menghukum
pikiranku.Bagaimana aku bisa ikut Ujian Nasional jika statusku saat ini saja adalah
tersangka.Sirna sudah semangat belajarku yang kukumpulkan dengan susah payah,
nafsuku untuk menyentuh tumpukan di atas meja kamarku itu melebur bagai permen
kapas yang tercelup ke dalam seember air.Hilang tanpa bekas.
***
Aku sedih melihat kedua orang
tuaku.Ayahku yang kaku dan ibuku yang selalu melindungi dan menyayangiku.Ibu
tidak pernah sekalipun memarahiku jika aku tidak menurut, oleh sebab itulah
ayahku sering bersinggung pendapat dengan ibu dan menganggap jika ibu selalu
memanjakanku.Tapi aku tidak manja, aku tumbuh seperti anak laki-laki pada
umumnya.Hanya saja tubuhku terlalu gemuk untuk bisa menjadi pemain tim basket
seperti Eko, dalam olahraga aku memang agak payah.Dalam hal akademik bisa
dibilang aku cukup pas-pasan.Oleh karena itulah aku harus belajar lebih giat
lagi jika aku tidak mau mendapati seorang petugas datang ke teras rumahku mengantar
surat pernyataan tidak lulus Ujian Nasional saat pengumuman nanti.Namun apa
daya semangatku luntur sudah, berganti hari-hari penuh rasa sesal dan bersalah
yang selalu menghantui setiap aku memikirkan apapun.Anime faforitku juga tidak
pernah aku ikuti, entah sudah episode ke berpa sekarang.Eko juga tidak
menghubungiku sejak hari itu, aku pun malas menghubunginya.
***
Sifat ayah sudah tidak seperti
beberapa hari yang lalu, beliau langsung memaafkan aku begitu dia menerima
telpon dari kepolisian.Menurut penyelidikan polisi dan keterangan saksi yang
jujur, pria itu ternyata mengemudi dalam keadaan mabuk pil dan keluar jalurnya
lalu menabrak kami yang sudah naik motor dengan benar sesuai peraturan
lalulintas, meskipun saat itu kami tidak ada helm dan SIM.Eko yang memboncengku
tidak kuasa menghindari kejadian naas berujung maut itu.Saksi yang memberi
keterangan palsu jika Eko yang membuat kesalahan itu ternyata masih sahabat
korban.Eko dan aku bersyukur tatkala semua kebenaran itu terungkap berkat saksi
lain yang bersedia berkata jujur.Banyak nasihat-nasihat yang mengalun dari ayah
dari kejadian ini.Hal yang pertama terpikirkan olehku adalah mengambil hape
untuk langsung menelpon Eko.
Aku berlari menuju kamarku.Niatku
terhenti saat tanganku hanya tinggal beberapa jengkal dari benda bercorak hitam
putih itu.Ayah meneriakiku jika ada teman yang datang. Itu pasti Eko,
pikirku.Dengan wajah sumringah aku berjalan dengan cepat ke arah ruang
tamu.Tidak ada Eko di sana, melainkan Mey dengan senyumnya yang dipaksakan.
Mey menangis saat ada dia
menceritakan bagaimana keadaan Eko, Mey bilang jika Eko masih ingin menenangkan
diri di rumah.Eko benar-benar trauma bahkan dia mencoba untuk menyiksa dirinya
sendiri, mengurung diri di kamar selama berhari-hari dan gemetar ketakutan jika
mendengar suara seoeda motor dipacu kencang.Keadaan Eko sangat kacau, lebih
mirip orang dalam tahap depresi.Aku tersentak mendengar cerita dari Mey.Aku
bergegas menceritakan informasi dari pihak berwajib, wajah Mey bersinar.Aku dan
Mey bergegas pergi ke rumah Eko tanpa mengganti pakaianku yang sedikit bolong
di bagian punggung.Eko pasti akan lega dengan kabar ini, bahwa dia tidak
bersalah.Kami akan belajar bersama-sama lagi dengan penuh semangat mengahadapi
Ujian Nasional dua minggu yang akan datang.Kami bertiga juga akan mengunjungi
keluarga korban untuk menjelaskan duduk persoalannya dengan didampingi petugas,
lalu berkunjung ke makam pria itu.
***
Harum pandan dan minyak khas
pesarean masih kental berputar di sekitar gundukan yang masih merah ini.Hatiku
trenyuh menatap nisan polos belum berukirkan nama penghuni di permukaan kayunya.Ayahku
membacakan do’a, aku dan Mey mengaamiininya
serta ikut membaca do’a yang aku hafal.Kubuka bungkusan berisi benda beraroma
sama dengan tempat ini.Kutahan sekuat-kuatnya air mataku agar tetap pada
tempatnya.Hembusan angin membelai kepalaku saat bunga itu jatuh satu persatu
dari genggaman tangan kananku ke atas pusara sahabatku, Eko.Eko meninggal
dikarenakan terkena gegar otak yang didapatkannya saat kecelakaan sebulan lalu
itu.Penanganan yang terlambat membuat kondisinya semakin hari semakin
melemah.Dia sering mengeluh pusing dan tidak kuat untuk belajar, awalnya aku
hanya mengira itu semua adalah bagian dari hari-harinya yang masih penuh
tekanan.Bahkan saat ujian nasional aku dan Mey membantu Eko dengan segala akal
bulus kami, memberikan semua jawaban pada Eko.Kami bertiga lulus Ujian
Nasional, begitulah yang dikatakan oleh pengumuman pagi tadi.
Terimakasih atas semua yang kita
lalui bersama sahabat, hari-hari itu akan aku hargai.Aku akan selalu mengenang
kenakalan kita dan pelajaran dari hal itu.Selamat jalan sobat, dalam hatiku akan
selalu ada ruang untukmu.Semoga kamu mendapat tempat yang istimewa di samping
Tuhan.Eko sahabatku.Setidaknya kita bisa menikmati hidup kita seperti maskoki gembul yang riang berenang ke sana kemari walau dalam wadah yang sempit dalam ruang dan waktu kita yang telah berbeda.